Udah lama banget ga buka blog ini..padahal banyak banget yang mo ditumpahin disini.
Hmmm...mulai darimana yach?
Geeez..I really dunno how to start this post!!
Setelah bulan Maret 2x berturut2 menghantarkan kepergian orang2 tercinta dari sahabat maupun kerabat gw (Maria, pacarnya Dave, sahabat dekat gw en mamanya Anna, kakak iparnya Lewi), gw ga nyangka sama sekali kalo akhirnya April lalu gantian gw yang ditemani sahabat dan para kerabat untuk menghantarkan kepergian salah satu sosok yang gw cintai.
Bagaikan mimpi buruk disiang bolong, tapi ini bahkan belum juga siang! Matahari baru mulai tersenyum di pagi itu, tapi ternyata senyuman itu bukan ditujukan buat gw sekeluarga!
Seperti baru terjadi kemarin, masih teringat jelas detail demi detail yang terjadi pagi itu! Semuanya terjadi begitu tiba-2, tanpa ada firasat ataupun tanda-2.
Hari itu, Senin, 12 April 2010, jam 7. 43 WIB
Gw lagi di kamar, siap-2 untuk berangkat ke kantor sambil nonton infotainment di trans7. Tiba-2 ada suara ketukan kencang di pintu kamar, en ternyata itu Papa (fyi, Papa jarang banget naek keatas, selain karena separo diatas cuman ada kamarnya Deni, kamar gw en ruang tamu di depannya, saat itu bagian diatas lagi direnovasi jadi lagi super berantakan abis. Ruang tamu gw aja penuh dengan romel dan barang-2 hasil pindahan).
Dengan muka panik dan suara sedikit ngos-2an, Papa bilang : “Cis, Papa coba bangunin Deni daritadi tapi ga bangun-2. Kamu tolong jaga kakakmu dulu ya, Papa mo ke rumah depan untuk matiin api di kompor, karena tadi Deni minta dibikinin bubur”.
Saat itu juga gw langsung lari ke kamar Deni, dan menemukan Deni terbaring di tempat tidurnya dalam keadaan terlentang dan salah satu kakinya tergantung.
Gw coba bangunin Deni pelan-2, tapi dia ga mo bangun. Gw guncang-2 badannya en dia tetep ga bergeming. Saat itu gw mulai ngerasa ada yang ga beres, gw pun mulai nangis dan berteriak-2 : “Den.. Deni bangun, Den.. Den, banguuuun!!! Bangun, Den!!!!!!”. Teriakan gw yang mampu membuat hening para tukang yang sedang bekerja, teriakan yang selama ini suka bikin Deni bête pun ga bisa membangunkan dia dari tidurnya.
Gw pegang kakinya yang tergantung, bermaksud untuk merapikan posisinya, kakinya terasa begitu dingin. Gw pun mulai memegang kakinya yang satu lagi, dan ternyata badannya Deni dingin mulai dari kaki hingga sebatas pinggang. Gw panik dan kembali histeris dan berteriak-2 : “Tuhan, tolong jangan ambil dia… Jangan ambil kakak ku!!”. Ditengah-2 kepanikan itu gw terus mencari apa yang tidak beres dari situasi ini. Then gw liat dadanya Deni datar, tidak ada pergerakan naik-turun selayaknya orang yang sedang bernapas. Gw pun sempet mompa jantungnya, tapi gw menyerah dihitungan kelima (salah satu yang gw sesali, kenapa gw menyerah secepat itu, eventhough gw ga tau itungan yang tepat ato cara melakukannya dengan benar, tapi seharusnya saat itu gw tetap terus mencoba). Gw juga berusaha membuka mulutnya untuk memberikan napas buatan, namun mulutnya terkunci rapat, ga bisa dibuka sama sekali.
Waktu Papa kembali dari rumah depan, entah apa Papa sudah menyadari akan hal ini namun berusaha untuk tetap kuat dan mencoba menenangkan gw, atau Papa masih berpikir kalo Deni hanya pingsan seperti kejadian beberapa tahun yang lalu saat Deni dilarikan ke RS dalam keadaan tidak sadarkan diri dan masuk ICCU hampir seminggu lamanya karena gula darahnya menembus angka 500. Papa bilang ke gw untuk tenang.. Deni cuman pingsan. Tadi pagi Papa masih sempet bbm Deni untuk istirahat aja di rumah, ga usah ngantor kalo ga enak badan. En karena ga ada balasan dari Deni, Papa naek ke kamarnya Deni yang saat itu dalam posisi tengkurep bilang ke papa kalo jantungnya berdetak kencang sekali en dia juga minta dibuatin bubur buatannya Papa. Papa yang tidak ada firasat apapun soal ini, mencoba membalikkan badannya Deni, supaya Deni bisa bicara lebih jelas dan dadanya tidak tertekan karena posisi tengkurepnya itu. Kemudian papa kerumah depan untuk bikinin buburnya. Tapi karena Papa inget Deni harus minum obat dulu sebelum makan, jadi Papa balik lagi kerumah, bawain Deni air minum elektromagnetik dan obatnya. Dan saat itulah Deni udah ga bisa dibangunin.
Papa udah ngabarin Mama soal kondisi Deni en Mama udah muter balik otw home. Karena hari itu adalah hari senin, dan jam segitu adalah jam-2nya macet orang-2 berangkat ke kantor, so gw sama Papa mutusin untuk tidak menunggu Mama, tapi langsung bawa Deni ke UGD Carolus, en ketemuan sama Mama ditengah-2 aja. Papa langsung nyiapin mobil en minta tolong tukang untuk bantu mindahin Deni ke mobil. You know what? Butuh 4 orang tukang untuk bantu angkat Deni ke mobil. Jangankan mindahin tubuhnya, mindahin kakinya yang tergelantung aja tadi gw ga sanggup, saking beratnya.
Dalam perjalanan ke RS, Papa tetap berusaha tenang mengendarai mobil ditengah-2 macetnya jalanan dan situasi yang penuh tekanan itu, masih ditemenin sama 3 tukang yang ikut bantu angkat Deni ke dalam mobil. Kita ketemuan sama Mama di dermaga (baru 1/4 jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke RS), kemudian Mama pindah ke Kijang, duduk mangku Deni, sedangkan gw pindah ke civic, disetirin sama P. Toni (kebetulan hari itu P.Idod, supirnya mama ijin ga masuk) iring-2an menuju RS. Gw masih sempet sms dan bbm sodara-2 maupun sahabat-2 gw, mohon doa untuk Deni yang saat itu ga bisa gw jabarin kondisinya pastinya.
Jalanan sangat tidak bersahabat hari itu, selain macetnya seampun-2, berkali-2 kita kena lampu merah, sehingga butuh waktu 1jam lebih untuk sampai di Carolus.
Begitu sampe di UGD Carolus, Papa langsung turun dari mobil, lari masuk ke UGD untuk panggil suster yang bertugas. Ada kalimat yang keluar dari mulut suster yang datang bawa tempat tidur derek, yang bikin gw emosi en pengen nampar tuh suster rasanya. Waktu Deni diturunin dari mobil, dibantuin sama 3 tukang, si suster ini ngomonk : "Apaan tuh??". What??? What do you mean with "Apaan tuh"??. Itu kakak gw, monyonk!!!
Again, kekecewaan gw muncul waktu Deni ga langsung mendapat penanganan setelah dibawa ke UGD. Ada sekitar 5 menit dari sejak Deni dibawa masuk ke UGD sampai dokter jaga datang untuk memeriksa. Dengan menempelkan stetoskopnya beberapa kali ke dada Deni, si dokter dengan datar berkata : "ini udah ga ada" (sama seperti suster tadi, si dokter juga menyebut kakak gw dengan "ini"???. Tapi gw udah ga sanggup marah saat itu). Ada keheningan sejenak disana, kemudian Mama bertanya kembali ke dokter itu, dan sang dokter memperjelas bahwa Deni sudah tidak ada.
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti saat itu kami semua histeris berteriak-2, meminta sang dokter untuk memeriksa ulang dengan peralatan lain (alat kejut, dsb). Dan untuk meyakinkan kami, salah seorang suster memasang alat di dadanya Deni yang tersambung di monitor. Kemudian suster itu menunjuk kearah monitor dan terpampanglah garis lurus disana.
Mama Papa langsung memeluk Deni, nangis meraung-raung. Baru pertama kali itu gw ngeliat Papa menangis tersedu-2, kerutan diwajahnya langsung terlihat jelas. Berkali-2 Mama dan Papa menyalahkan diri sendiri dan berandai-2 :
"Andai saja tadi pagi sebelum Mama berangkat ke kantor Mama naek dulu ke kamar kamu en ngecek keadaan kamu ya, Den",
"Andai aja semalem, waktu kamu bilang capek en ga enak badan, Mama nawarin kamu tidur di kamar Mama",
"Andai aja Papa lebih sigap waktu tadi pagi kamu ngomong kurang jelas en minta dibikinin bubur",
dan andai-2 lainnya..
Ga bisa gw bayangin betapa hancurnya hati mereka. Abang gw satu-2nya, anak laki-2 mereka satu-2nya, pergi untuk selama-2nya di usianya yang masih sangat muda ( 31 tahun), sekali lagi, tanpa tanda-2 dan mereka tidak ada disampingnya saat Deni menghembuskan napas terakhirnya. Yaa..tidak ada siapapun saat itu. Bahkan tidak ada yang tau secara pasti, kapan dan bagaimana Deni menghembuskan napas terakhirnya.. Tapi kalo diliat dari raut wajahnya yang tenang, gw yakin 1000% Deni pergi dengan tenang, tanpa rasa sakit sedikitpun!!!!
Well, siapa yang akan menyangka, kalo hari sabtu - minggu, tanggal 10 - 11 April 2010, saat kita (Mama, Papa, Deni en gw) inap di rumahnya Lisa di BSD adalah saat-2 terakhir kami bisa berkumpul bersama Deni dalam satu keluarga lengkap?
Siapa yang akan menyangka, dengan hasil lab Deni dan hasil periksa ke dokter alternatif hari sabtu itu yang semuanya menunjukkan perkembangan dan hasil yang luar biasa bagus adalah saat-2 terakhir Deni di puji-2 karna niat dan tekadnya untuk hidup sehat semakin terlihat jelas?
Siapa yang akan menyangka, kalo hari minggu tanggal 11 April 2010, pulang dari BSD en Deni pamit tidur duluan karena cape, adalah pamit dalam arti sesungguhnya?
Siapa yang akan menyangka???? SIAPA?!?!?!?!?!?
Dengan langkah lunglai, gw meninggalkan Mama dan Papa yang masih terisak-2 dan terus membelai lembut wajahnya Deni. Gw harus ngabarin Lisa, Lewi, dan kerabat-2 lainnya. Gw juga harus pulang ke rumah untuk nyiapin jas, kemeja, sepatu, sarung tangan, dll untuk keperluannya Deni. Sementara Mama tetap berada disampingnya Deni sambil berdoa Rosario, Papa mengurus surat-2 kematian di bagian administrasi juga mengurus ruangan di rumah duka St. Carolus.
Setibanya di rumah, mandor dan tukang-2 yang lain langsung menghampiri gw dan mengucapkan turut berduka cita. Kemudian gw naik keatas, ke kamarnya Deni, berbaring ditempat tidurnya Deni dan kembali menangis..menangis..menangis..dan menangis!! Sempet gw marah dan kecewa sama Tuhan, karena Tuhan telah mengambil kakak gw begitu aja tanpa memberikan gw kesempatan untuk pamit en bilang betapa gw bangga mempunyai kakak seperti dia, betapa gw mencintainya dan sangat takut kehilangan dia dari sejak pertama kali dia masuk ICU beberapa tahun yang lalu, betapa gw sangat menyesal dengan semua sikap dan kata2 gw yang sering memojokkan dia.
Setelah rasanya puas menangis, menumpahkan semuanya, gw mulai menyiapkan barang2 yang akan dipakai Deni pada saat2 terakhirnya dimuka bumi ini. Mulai dari kemeja putih lengan panjang yang paling putih dan paling bersih diantara kemeja putih lainnya, setelan celana dan jas hitam yang Deni pake waktu kawinan gw dulu, kaos kaki, sepatu (karna waktu itu gw ga bs nemuin sepatu pantofelnya yang bagus, yang biasa Deni pake ke gereja, jadi terpaksa gw ambil sepatu pantofelnya Lewi. Walopun gw tau, Deni paling ga suka pinjem-2 barang orang, tapi kali ini semoga dia mengerti, kalo gw cuman pengen yang terbaik buat dia en gw juga yakin kalo Lewi ga akan keberatan sama sekali memberikan sepatunya tsb), juga sarung tangan warna putih. Abis itu gw langsung berangkat lagi ke RS.
Dalam perjalanan balik ke RS, gw yang saat itu memegang ke 4 HPnya Deni, mulai mengirim sms blast dan menelpon khusus beberapa temannya yang gw kenal juga. Reaksi mereka semua SHOCk!! Ga ada yang percaya soal kepergian Deni yang begitu mendadak!! Hampir semua temennya Deni yang gw telpon saat itu bilang kalo terakhir mereka liat Deni, dia dalam keadaan sehat walafiat, Deni masih makan siang dengan menu dietnya, dsb. Yah..jangankan mereka, gw sekeluarga aja berasa kayak kecolongan!!
Sampai di rumah duka Carolus, ternyata sudah banyak sodara dan tamu yang datang (mulai dari karyawannya Mama, temen-2 kantor Lisa dan gw, juga orang lingkungan). Beberapa orang dari lingkungan Elizabeth yang sudah datang siap untuk membantu persiapan misa requim dan membantu urusan surat-2 kematian Deni. Tapi saat itu papa bersikeras untuk mengurusnya sendiri, Papa juga memilih sendiri peti yang akan dipakai Deni. Dan Mama masih terus berada disisinya Deni yang saat itu sudah terbujur kaku.
Karna diabetnya, walopun Deni akan langsung dimakamkan pada keesokan harinya, tanggal 13 April 2010, Deni tetap harus diformalin. Sebetulnya gw sama Mama ga mau Deni di formalin, karna jujur kita masih berharap kalo Deni hanya mati suri, dan dia akan segera bangun lagi. Setelah diformalin, Deni dimandiin oleh petugas kemudian tante Vonny dan sepupu gw, Sandra, ikut membantu memakaikan baju dsb.
Saat Deni yang sudah rapih, bersih dan keliatan gagah diletakkan dalam peti yang terbuat dari kayu jati, dengan ukiran perjamuan terakhir di sisi kanan kiri peti, bunga dan renda-2 disisi dalam peti, orang-2 yang mulai berdatangan mengucapkan belasungkawa, serta karangan-2 bunga mulai memenuhi rumah duka, semuanya baru terasa nyata. Yep, itu bukan mimpi lagi.
Sekitar jam 15.00 Lisa nyuruh gw untuk ajak Mama Papa pulang supaya bisa istirahat sejenak, sebelum nanti malam misa requim en tamu-2 lebih banyak lagi yang berdatangan.
Di rumah, tidak ada satupun dari kita yang bisa beristirahat. Mama menangis meringkuk ditempat tidurnya sambil terus menerus memanggil-2 nama Deni. Sedangkan Papa duduk terdiam di ruang tamu dengan tatapan kosongnya. Aaaaaaaaaarrghhhhh...seandainya ada yang bisa gw lakukan saat itu selain sebuah pelukan dan kata-2 yang sepertinya juga sangat gw butuhkan untuk menenangkan hati gw!